Soppeng Rakyatinfo com– Fenomena penyusunan kabinet bayangan oleh calon kepala daerah sebelum pesta demokrasi berlangsung sering kali dianggap sebagai strategi untuk memotivasi para pendukung. Menurut para pakar politik, praktik semacam ini wajar dalam konteks politik, tetapi tetap memiliki konsekuensi etis, terutama jika melibatkan janji-janji yang mungkin sulit direalisasikan atau manipulasi untuk melindungi kepentingan pribadi.
Dr. Hendra Santoso, Pakar Politik dari Universitas Indonesia, menyebutkan bahwa langkah ini sering dilakukan untuk menunjukkan kesiapan dan keseriusan seorang kandidat. "Menyusun kabinet bayangan sebelum pemilihan adalah upaya strategis untuk memberikan keyakinan kepada pendukung bahwa kandidat memiliki visi yang jelas dan tim yang solid. Namun, ini juga bisa menjadi pedang bermata dua jika janji-janji tersebut tidak ditepati atau hanya sekadar manipulasi politik," ujarnya.
Ia menambahkan, janji tersebut menjadi beban moral yang harus dipenuhi jika kandidat menang. "Ketika seorang kandidat menjanjikan posisi atau peran tertentu kepada pendukung atau pejabat, ada tanggung jawab moral dan politik yang harus diemban. Jika tidak, hal ini dapat memicu konflik internal di kemudian hari," tegasnya.
Prof. Andi Rahmawati, Pakar Etika Politik Universitas Hasanuddin, memberikan pandangannya terkait pendukung atau pejabat yang memanfaatkan situasi untuk berlindung di balik pemenang. "Dalam praktik politik, selalu ada individu yang mencoba menjadikan kedekatan dengan pemenang sebagai tameng untuk menghindari konsekuensi atas tindakan mereka di masa lalu. Ini mencerminkan rendahnya integritas dan etika politik," jelasnya.
Ia menegaskan bahwa etika politik seharusnya mengutamakan kejujuran dan tanggung jawab atas perbuatan. "Membentuk kabinet bayangan untuk menyemangati pendukung sah-sah saja, tetapi ketika itu digunakan sebagai alat manipulasi atau perlindungan bagi oknum yang memiliki rekam jejak buruk, maka itu sudah mencederai etika demokrasi," katanya.
Dr. Faisal Anwar, Pengamat Demokrasi Nusantara, menyoroti bahwa manipulasi politik semacam ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi. "Ketika para pejabat atau calon pejabat yang tidak bertanggung jawab berlindung di balik kekuatan pemenang, mereka merusak kredibilitas pemimpin tersebut. Dalam jangka panjang, ini akan melemahkan legitimasi pemerintahan," jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa tanggung jawab atas tindakan seharusnya tidak dapat dialihkan kepada orang lain. "Dalam etika politik, setiap individu harus menanggung konsekuensi dari perbuatannya. Mencari perlindungan melalui kedekatan dengan pemenang hanya akan menambah beban negatif bagi kepemimpinan yang baru," tambahnya.
Dr. Siti Rahmah, Pengamat Sosial Politik, menekankan bahwa pemimpin yang kuat harus mampu menolak intervensi dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan situasi. "Pemimpin yang terpilih harus mampu membangun kabinet berdasarkan kompetensi dan integritas, bukan semata-mata pada kedekatan atau balas budi. Ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat," ujarnya.
Para pakar sepakat bahwa penyusunan kabinet sebelum pemilihan dapat menjadi strategi yang efektif jika dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab. Namun, praktik ini juga dapat menjadi bumerang jika disertai manipulasi atau digunakan untuk melindungi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
"Loyalitas terhadap demokrasi dan integritas politik harus diutamakan. Pemimpin yang bijak adalah mereka yang berani menolak tekanan dari pendukung oportunis dan tetap fokus pada kepentingan masyarakat luas," pungkas Prof. Andi Rahmawati.
(Red)