Soppeng Rakyatinfo com.Pemilu telah usai, namun euforianya belum sepenuhnya mereda. Di balik hingar-bingar pesta demokrasi yang kerap disebut sebagai "pesta rakyat", kini mulai muncul babak baru: perburuan kambing hitam, upaya mencari perlindungan bagi para pengkhianat, dan hadirnya para pahlawan kesiangan. Fenomena ini seolah menjadi cerita klasik pasca pemilu di berbagai level, dari pusat hingga daerah.
Mencari Kambing Hitam
Kegagalan dalam pemilu seringkali menyisakan kekecewaan mendalam, baik di kubu pemenang maupun pecundang. Alih-alih melakukan introspeksi, beberapa pihak lebih memilih untuk menuding orang lain sebagai penyebab kekalahan. Tim sukses yang sebelumnya tampak solid mulai retak, saling tuding, bahkan tak jarang melibatkan narasi pengkhianatan.
Entah itu isu logistik yang terlambat, strategi kampanye yang dianggap keliru, hingga kader yang tak loyal—semua menjadi alasan untuk menutupi kelemahan sendiri. Dalam suasana penuh ketegangan ini, kambing hitam menjadi "jalan pintas" untuk melimpahkan kesalahan tanpa menyentuh akar persoalan.
Mencari Perlindungan bagi Para Pengkhianat
Di sisi lain, pemilu juga memunculkan wajah-wajah yang tak asing dengan sikap "lompat pagar". Para pengkhianat, yang sebelumnya berkomitmen pada satu kubu namun berbalik arah demi keuntungan pribadi, kini mulai gelisah. Mereka sibuk mencari perlindungan dari pihak-pihak yang berkuasa, berharap agar pengkhianatan mereka tak berujung pada konsekuensi serius.
Menariknya, para pengkhianat ini sering kali memiliki strategi yang sama: bersembunyi di balik janji loyalitas baru sambil melupakan luka yang telah mereka tinggalkan. Namun, sejarah menunjukkan bahwa sikap pragmatis seperti ini jarang mendapat tempat di hati publik.
Munculnya Pahlawan Kesiangan
Fenomena tak kalah menarik adalah hadirnya para pahlawan kesiangan—individu yang mendadak tampil seolah menjadi penyelamat situasi. Dengan narasi besar, mereka mengklaim memiliki peran penting dalam kemenangan atau menyebut diri sebagai "korban ketidakadilan".
Namun, publik semakin cerdas. Pahlawan kesiangan ini sering dipandang hanya sebagai oportunis yang memanfaatkan momentum untuk kepentingan pribadi. Alih-alih dihormati, mereka justru menjadi bahan perbincangan sinis di media sosial dan ruang-ruang publik lainnya.
Finish tanpa Start
Ironisnya, semua dinamika ini sering kali terjadi tanpa adanya fondasi kuat. Banyak pihak yang bergegas ke garis finish, mengklaim kemenangan atau menyalahkan kekalahan, tanpa memahami apa yang sebenarnya mereka perjuangkan sejak awal. "Finish tanpa start" menjadi gambaran tepat bagi situasi ini—kesuksesan atau kegagalan yang tak diiringi visi dan misi jelas.
Pasca pemilu seharusnya menjadi momentum evaluasi dan rekonsiliasi, bukan sekadar arena mencari kambing hitam atau panggung bagi para pengkhianat dan pahlawan kesiangan. Namun, selama budaya politik yang matang belum terwujud, kisah klasik ini tampaknya akan terus berulang.
(Red)